KATA
PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Saya panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.
Makalah ilmiah ini telah saya susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Saya menyadari sepenuhnya bahwa
masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka Saya menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ilmiah tentang
limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.
Mranggen, 7 Agustus 2016
1) perbedaan yang pertama mungkin dilihat dari shallat'nya , tapi
tetep dijalan tuhan YME allah SWT kok . .
- nah perbedaannya terletak pada tahyat akhirnya sob..
kalo muhammadiyah nggak pake kata "SAIDINA"
sedangkan NU jelas pake kata "SAIDINA"
berikut cuplikan kalimatnya :
Muhammadiyah : "Allahuma salliala muhammad, wa
ala ali muhammad..."
NU (Nadhatul Ulama’) : "Allahuma salliala saidina muhammad, wa ala ali
saidina muhammad..."
- perbedaan yang lain juga terletak pada saat shallat
subuh,,
di Muhammadiyah tidak memakai do'a QUNUT. sedangakan NU
memakai do'a QUNUT..
- kemudian perbedaan juga bukan cuman pas shallat , sehabis shalat
pada ajaran Muhammadiyah tidak ada do'a bersama alias sendiri sendiri ( kalo
bahasa jawa mengatakan ;wiridh)
- di shalat tarawih ajaran Muhammadiyah memake rakaat 11 dengan 4
4 3..kalo NU 2 2 2 2 3..
2). Adzan Shalat Jumat
- di ajaran Muhammadiyah adzan untuk shalat jumat hanya 1 kali..sedangkan di NU
2 kali (2 kali adzan ini yang aku tau adzan pertama itu untuk adzan dzuhur dan
adzan yang kedua untuk shalat jumatnya)
Dalam bahasa Arab, Tahlil berarti menyebut kalimah “syahadah”
yaitu “La ilaha illa Allah” (لااله الا الله). Dalam konteks Indonesia,
tahlil menjadi sebuah istilah untuk menyebut suatu rangkaian kegiatan
doa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal
dunia.
Kegiatan tahlil sering juga disebut dengan
istilah tahlilan. Tahlilan, sudah
menjadi amaliah warga NU sejak dulu hingga sekarang. Sementara kalangan
Muhammadiyah tidak membenarkan diselenggarakannya tahlilan.
Bacaan-bacaan doa serta urutan dalam acara
tahlil juga sudah tersusun sedemikian rupa, dan dihafal oleh warga NU. Begitu
pula tentang bagaimana tradisi pelaksanaannya, di mana keluarga sedang tertimpa
musibah kematian (shohibul mushibah) memberikan sedekah makanan bagi tamu yang
diundang untuk turut serta mendoakan.
NU menganggap bahwa acara tahlilan tidak
bertentangan dengan syariat Islam, melainkan justru sesuai dengan apa yang
telah disunnahkan oleh Rasulullah saw. Sementara Muhammadiyah menganggap bahwa
acara tahlilan merupakan sesuatu hal yang baru, tidak pernah dikerjakan dan
diperintahkan rasulullah (bid’ah).
NU membenarkan bahwa bacaan doa, kiriman
pahala dari membaca ayat-ayat al-Qur’an, dan shodaqah, bisa dikirimkan kepada
orang yang sudah meninggal, sementara Muhammadiyah berpendapat bahwa membaca
al-Qur’an, dan bacaan lain, serta bersodaqah yang dikirimkan kepada orang yang
sudah meninggal pahala tersebut tidak akan sampai.
Perbedaan pendapat seputar tahlil ini
terjadi, dikarenakan terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap ayat al-Qur’an
dan hadis yang berkaitan dengan masalah tersebut. Selain juga karena dalil yang
digunakan serta metode pengistimbathan hukumnya yang berbeda. Untuk lebih
jelasnya, baiknya langsung kita pahami bersama dasar-dasar penolakan dan
penerimaan tahlil dari NU dan Muhammadiyah.
- Muhammadiyah
Sebagaimana sudah dikenal, bahwa ajaran agama Muhammadiyah cenderung ingin
memurnikan syariat Islam (tajdid). Islam yang menyebar luas di Indonesia,
khususnya di jawa, tidak dipungkiri merupakan perjuangan dari para pendakwah
Islam pertama, di antaranya adalah Wali Sanga. Dalam menyebarkan agama Islam,
Walisanga menggunakan pendekatan kultural, yang mana tidak membuang keseluruhan
tradisi dan budaya Hindu dan Budha, dua ajaran yang menjadi mayoritas pada masa
itu, melainkan memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam tradisi dan kepercayaan
Hindu Budha. Salah satu tradisi agama Hindu, yaitu ketika ada orang yang
meninggal adalah kembalinya ruh orang yang meninggal itu ke rumahnya pada hari
pertama, ketiga, ketujuh, empat puluh, seratus, dan seterusnya. Dari tradisi
itulah kemudian muncul tradisi yang kemudian dikenal dengan tahlil.
Sebagaimana sudah pernah dibahas dalam
Majalah Suara Muhammadiyah dan dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama II yang
diterbitkan Muhammadiyah, tahlilan tidak ada sumbernya dalam ajaran Islam.
Tradisi selamatan kematian 7 hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000 hari untuk
orang yang meninggal dunia, sesungguhnya merupakan tradisi agama Hindu dan
tidak ada sumbernya dari ajaran Islam.
Muhammadiyah menganggap bahwa keberadaan
tahlil pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari tradisi tarekat. Ini bisa
diketahui dari terdapatnya gerak-gerak tertentu disertai pengaturan nafas untuk
melafalkan bacaan tahlil sebagai bagian dari metode mendekatkan diri pada
Allah. Dari tradisi tarekat inilah kemudian berkembang model-model tahlil atau
tahlilan di kalangan umat Islam Indonesia.
Dalam tanya jawab masalah Agama di Suara
Muhammadiyah disebutkan macam-macam tahlil atau tahlilan. Di lingkungan Keraton
terdapat tahlil rutin, yaitu tahlil yang diselenggarakan setiap malam Jum'at dan
Selasa Legi; tahlil hajatan, yaitu tahlil yang diselenggarakan jika keraton
mempunyai hajat-hajat tertentu seperti tahlil pada saat penobatan raja,
labuhan, hajat perkawinan, kelahiran dan lainnya. Di masyarakat umum juga
berkembang bentuk-bentuk tahlil dan salah satunya adalah tahlil untuk orang
yang meninggal dunia.
Muhammadiyah yang notabenenya mengaku
masuk dalam kalangan para pendukung gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang
berorientasi kepada pemurnian ajaran Islam, sepakat memandang tahlilan orang
yang meninggal dunia sebagai bid'ah yang harus ditinggalkan karena tidak ada
tuntunannya dari Rasulullah.
Esensi pokok tahlilan orang yang meninggal
dunia sebagai perbuatan bid'ah bukan terletak pada membaca kalimat la ilaha illallah, melainkan pada hal
pokok yang menyertai tahlil, yaitu;
1.
Mengirimkan bacaan ayat-ayat al-Qur'an
kepada jenazah atau hadiah pahala kepada orang yang meninggal,
2.
Bacaan tahlil yang memakai pola tertentu
dan dikaitkan dengan peristiwa tertentu.
Berikut akan kami berikan argumentasi
penolakan Muhammadiyah terhadap tahlil:
Argumentasi Pertama: Bahwa mengirim hadiah pahala untuk orang
yang sudah meninggal dunia tidak ada tuntunannya dari ayat-ayat al-Qur'an maupun
hadis Rasul. Muhammadiyah berpendapat bahwa ketika dalam suatu masalah tidak
ada tuntunannya, maka yang harus dipegangi adalah sabda Rasulullah saw, yang
artinya:
“Barangsiapa
yang mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada perintahku untuk
melakukannya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim dan Ahmad]
Dalam situs pdmbontang.com memuat sebuah artikel yang berjudul
“Meninggalkan Tahlilan, siapa takut?”, sebuah artikel yang bersumber dari
MTA-online. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw ketika
masih hidup pernah mendapat musibah kematian atas orang yang dicintainya, yaitu
Khodijah. Tetapi Nabi saw tidak pernah memperingati kematian istrinya dalam
bentuk apapun apalagi dengan ritual tahlilan. Semasa Nabi hidup juga pernah ada
banyak sahabatnya dan juga pamannya yang meninggal, di antaranya Hamzah, si
singa padang pasir yang meninggal dalam perang Uhud. Beliau juga tidak pernah
memperingati kematian pamannya dan para sahabatnya.
Demikian pula setelah Rasulullah saw wafat, tahlilan atau peringatan hari
kematian belum ada pada masa khulafaur Rasyidin. Pada masa Abu Bakar tidak
pernah memperingati kematian Rasulullah Muhammad saw. Setelah Abu Bakar wafat
Umar bin Khaththab sebagai kholifah juga tidak pernah memperingati kematian
Rasululah Muhammad saw dan Abu Bakar ra. Singkatnya semua Khulafaur Rasyidin
tidak pernah memperingati kematian Rasulullah saw.
Dalil aqli atas sejarah tersebut adalah, kalau Rasulullah saw tidak pernah
memperingati kematian, para sahabat semuanya tidak pernah ada yang memperingati
kematian, berarti peringatan kematian adalah bukan termasuk ajaran Islam, sebab
yang menjadi panutan umat Islam adalah Rasulullah saw dan para sahabatnya,
bukan?
Selain itu, berkaitan dalam masalah
tahlil, Muhammadiyah menolaknya dengan dasar dari hadist Rasulullah saw, yang
artinya
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda: “Apabila manusia
telah mati, maka putuslah segala amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak saleh yang mendoakannya.” [HR.
Muslim]
Berkaitan dengan hadis tersebut, yang juga
digunakan oleh Ulama atau kalangan yang membolehkan tahlilan, Muhammadiyah
memandang bahwa hadist itu berbicara tentang mendoakan, bukan mengirim pahala doa dan
bacaan ayat-ayat Al Qur'an. Mendoakan orang tua yang sudah meninggal yang
beragama Islam memang dituntunkan oleh Islam, tetapi mengirim pahala doa dan
bacaan, menurut kepercayaan Muhammadiyah, tidak ada tuntunannya sama sekali.
Argumentasi
kedua: selain dasar sebagaimana sudah
disebutkan, Muhammadiyah juga mendasarkan argumentasinya pada al-Qur’an surat
an-Najm ayat 39, ath-Thur 21, al-Baqarah 286, al-An’am 164, yang mana dalam
ayat-ayat tersebut diterangkan bahwa manusia hanya akan mendapatkan apa yang
telah dikerjakannya sendiri. Berikut adalah petikan ayat-ayatnya:
Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm: 39)
Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak
cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka
dengan mereka[1426], dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal
mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. [QS. ath-Thur (52): 21]
Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa
atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban
yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S. al-Baqarah: 286)
Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari
Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah
seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri;
dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada
Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan." [QS. al-An’am (6): 164]
Dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut, kalangan yang menolak
tahlilan mengutip pendapat madzhab Syafii yang dikutip Imam Nawawi dalam Syarah
Muslimnya, di sana dikatakan bahwa bacaan qur'an (yang pahalanya dikirimkan
kepada mayit) tidak dapat sampai, sebagaimana disebutkan dalam dalam al-Qur’an surat an-Najm ayat 39 di
atas.
Selain itu, juga dikuatkan dengan pendapat Imam Al Haitami dalam
Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah yang mengatakan: "Mayit tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang
mutlak dari ulama mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada
mayit) tidak dapat sampai kepadanya." Sedang dalam Al Um Imam Syafi'i
menjelaskan bahwa Rasulullah saw memberitakan sebagaimana diberitakan Allah,
bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri, seperti halnya amalnya
adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan
kepada orang lain. (Al Umm juz 7, hal 269).
Dasar selanjutnya adalah, perbuatan Nabi yang tidak menyukai ma'tam, yaitu
berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan,
karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru (Al Umm, juz I, hal 248).
Juga perkataan Imam Nawawi yang mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan
oleh keluarga si mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya
sama sekali (Al Majmu' Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286).
Sebagaimana sudah menjadi keputusan Tarjih Muhammadiyah dalam masalah ini,
bahwa ketika ada yang meninggal yang seharusnya membuat makanan adalah tetangga
atau kerabat dekat untuk keluarga si mayit. Dasarnya adalah hadis dari Abdullah
bin Ja'far, ia berkata, yang artinya:
Setelah datang berita
kematian Ja'far, Rasulullah bersabda: "Buatlah
makanan untuk keluarga Ja'far, karena telah datang kepada mereka sesuatu yang
menyusahkan mereka”. (H.R Tirmidzi dengan sanad hasan).
Demikianlah pendapat Muhammadiyah dalam
masalah tahlil. Penolakannya terhadap tradisi tahlilan talah terang memiliki
dasar. Lalu, bagaimana pendapat NU? Dalil-dalil apa yang digunakan oleh Ulama
NU sehingga sampai sekarang masih mempertahankan tahlilan? Mari kita kaji
bersama-sama.
- Nahdhatul Ulama
Di atas, kita telah tahu
pengertian tahlil secara bahasa maupun istilah. Bahwa tahlil, secara bahasa
berarti pengucapan kalimat la ilaha
illallah. Sedang tahlil secara istilah, sebagaimana ditulis KH M. Irfan Ms,
salah seorang tokoh NU, ialah mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang
tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengkui Allah sebagai Tuhan tetapi
juga untuk mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran kalimah thayyibah. Pada
perkembangannya, tahlil diitilahkan sebagai rangkaian kegiatan doa yang
diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia.
Sebenarnya tahlil bisa dilakukan sendiri-sendiri, namun kebiasaannya tahlil
dilakukan dengan cara berjamaah.
Dalam buku Antologi NU diterangkan, sebelum doa dilakukan,
dibacakan terlebih dahulu kalimah-kalimah syahadad, hamdalah, takbir, shalawat,
tasbih, beberapa ayat suci al-Qur’an dan tidak ketinggalan hailallah (membaca
laa ilaaha illahllaah) secara bersama-sama.
Biasanya acara tahlil dilaksanakan sejak
malam pertama orang meninggal sampai tujuh harinya. Lalu dilanjutkan lagi apda
hari ke -40, hari ke-100, dan hari ke-1000. Selanjtunya dilakukan setiap tahun
dengan nama khol atau haul, yang waktunya tepat pada hari kematiannya.
Setelah pembacaan doa biasanya tuan rumah
menghidangkan makanan dan minuman kepada para jamaah. Kadang masih ditambah
dengan berkat (buah tangan berbentuk makanan matang). Pada perkembangannya di
beberapa daerah ada yang mengganti berkat,
bukan lagi dengan makanan matang, tetapi dengan bahan-bahan makanan,
seperti mie, beras, gula, the, telur, dan lain-lain. Semua itu diberikan
sebagai sedekah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal
dunia tersebut. Sekaligus sebagai manifestasi rasa dinta yang mendalam baginya.
Dalam menjelaskan masalah tahlil, H.M.Cholil Nafis, tokoh pembesar NU,
menjelaskan pula sejarah tahlil, sebelum memberikan dasar-dasar dibolehkannya
tahlil. Menurutnya, berkumpulnya orang-orang untuk tahlilan pada mulanya
ditradisikan oleh Wali Songo (sembilan pejuang Islam di tanah Jawa). Seperti
yang telah kita ketahui, di antara yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam
di Indonesia adalah Wali Songo. Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas
dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.
Wali Songo tidak secara frontal menentang tradisi
Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu
berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang
meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka
bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau
mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut,
tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan
mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian di atas tidak
dikenal sebelum Wali Songo.
Warga NU sampai sekarang tetap
mempertahankan tahlil, salah satu tradisi yang dimunculkan pertama kali oleh
Walisanga. KH Sahal Mahfud, ulama NU dari Jawa Tengah, berpendapat bahwa acara
tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu
budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus
meningkatkan dzikir kepada Allah.
Kalau kita tinjau apa yang disampaikan KH
Sahal Mahfud, terdapat dua hikmah dilakukannya tahlil, yaitu, pertama, hamblumminannas, dalam rangka
melaksanakan ibadah sosial; dan kedua, hablumminallah, dengan
meningkatkan dzikir kepada Allah.
Mari kita lihat perspektif Ulama NU
tentang dua hikmah tahlil tersebut.
Pertama, bahwa dalam tahlil terdapat aspek ibadah
sosial, khususnya tahlil yang dilakukan secara berjamaah. Dalam tahlil, sesama
muslil akan berkumpul sehingga tercipta hubungan silaturrahmi di antara mereka.
Selain itu, dibagikannya berkat, sedekah
berupa makanan atau bahan makanan, juga merupakan bagian dari ibadah sosial.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, yang
artinya:
Dari
Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya
bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata
yang baik dan menyuguhkan makanan.”
(HR Ahmad)
Menurut NU, sebagaimana disampaiakan H.M.Cholil Nafis, memberi jamuan yang
biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut
mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan
dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang
dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal.
Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud
dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak
menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
Dalam hadits shahih yang lain disebutkan,
yang artinya:
Dari
Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah
SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika akan
bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki itu
berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa
aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR Tirmidzi)
Pembolehan sedekah untuk mayit juga
dikuatkan dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah yang dengan tegas mengatakan
bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak,
sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara
sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit
tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji.
Namun demikian, karena memberikan jamuan
untuk tamu berupa berkat adalah hukumnya
boleh, maka kemampuan ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan utama.
Tradisi NU dalam memberi jamuan makan untuk tamu tidaklah sesuatu yang wajib.
Orang yang tidak mampu secara ekonomi, semestinya tidak memaksakan diri untuk
memberikan jamuan dalam acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana ke
mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain, demikian
dikatakan KH. Cholil Nafis.
Semua jamuan dan doa dalam tahlilan
pahalanya dihadiahkan kepada mayit. Warga NU percaya bahwa bersedekah untuk
mayit, pahalanya akan sampai kepada mayit.
Dalam buku Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan dikutip sebuah
hadis di mana Rasulullah pahala sedekah untuk mayit akan sampai.
Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada rasulullah SAW.
“Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia
berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?”.
Rasulullah SAW. Bersabda,”ya”. (HR. Muttafaqu ‘alaih)
Perintah Rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan dalam hadits-hadits
yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai amalan yang tidak akan
pernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala
sedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi
juga ketika jasad sudah ditiggalkan oleh rohnya.
Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.bersabda: 'Tatkala manusia
meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal
Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya.” (HR.
Muslim).
Dalil lain adalah hadits yang dikemukakan
oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam
kitabnya, Yas`aluunaka fid Diini wal Hayaah, sebagaimana dikutip KH. Chilil Nafis, yang artinya
sebagai berikut:
“Sungguh para ahli fiqh telah
berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang
sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami
melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut
pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh
pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya
mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana
salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah
tersebut dikirimkan kepadanya!"
Jadi, menurut NU, doa dan sedekah yang
pahalanya diberikan kepada mayit akan diterima oleh Allah.
Argumentasi selanjutnya adalah, bahwa
tahlil merupakan sarana hablumminallah, sebab doa-doa atau bacaan-bacaan dalam
tahlil merupakan bacaan-bacaan dzikrullah yang mana apa yang dibaca tersebut
sesuati dengan sunnah Nabi Muhamamd saw.
Bahwa ummat Islam diperintahkan, tidak
hanya berdoa untuk orang yang masih hidup, tetapi juga untuk orang yang sudah
meninggal.
Allah swt berfirman:
Orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa,
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dulu daripada kami.” (QS. Al-Hasyr: 10)
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan)
selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang
mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan
tempat kamu tinggal. (QS. Muhammad: 19)
KH M. Irfan Ms pernah mengatakan bahwa tahlil dengan serangkaian bacaannya yang
lebih akrab disebut dengan tahlilan tidak hanya berfungsi hanya untuk mendoakan
sanak kerabat yang telah meninggal, akan tetapi lebih dari pada itu tahlil
dengan serentetan bacaannya mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat, Istighfar,
kalimat thayyibah dan seterusnya memiliki makna dan filosofi kehidupan manusia
baik yang bertalian dengan i’tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah, maupun gambaran
prilaku manusia jika ingin memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan
di akhirat kelak.
Dari susunan bacaannya tahlilan terdiri dari dua unsur, yaitu syarat dan rukun.
Bacaan-bacaan yang termasuk syarat tahlil adalah:
1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5 الم ذلك الكتاب
5. Surat al-Baqarah ayat 163 والهكم إله واحد
6. Surat al-Baqarah ayat 255 الله لاإله إلا هو الحي القيوم
7. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286 لله مافي السموات
8. Surat al-Ahzab ayat 33 إنما يريد الله
9. Surat al-Ahzab ayat 56 إن الله وملائكته يصلون على النبي
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da
Tasbih
Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan:
1. Surat al-Baqarah ayat 286 pada bacaan :واعف عنا واغفر لنا وارحمنا
2. Surat al-Hud ayat 73: ارحمنا ياأرحم الراحمين
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah لاإله إلاالله
6. Tasbih
Ayat-ayat serta bacaan-bacaan dzikir di atas memiliki keutamaannya
masing-masing sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi saw.
Seperti, misalnya sebuah hadis yang mengatakan bahwa “orang yang menyebut
“la ilaha illa Allah” akan dikeluarkan dari neraka." Dalam rangkaian
tahlil biasanya juga membaca surat Yasin secara berjamaah. Perbuatan ini sesuai
dengan apa yang diperintahkan Nabi SAW dalam beberapa haditsnya yang secara
terang-terangan memerintahkan supaya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur’an
untuk orang yang telah meninggal dunia.
Dari Mu’aqqol ibn Yassar r.a: "barang siapa membaca surat Yasin karena
mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka
bacakanlah surat yasin bagi orang yang mati diantara kamu.” (H.R. Al-Baihaqi,
dalam Jami’us Shogir: bab Syu’abul Iman)
Masih banyak hadis-hadis berkaitan dengan keutamaan surat-surat al-Qur’an serta
bacaan-bacaan dzikir dalam serangkaian bacaan tahlil yang akan terlalu panjang
jika semuanya ditulis di sini.
Kemudian, tentang dzikir yang dilakukan secara berjamaah, termasuk dalam acara
tahlilan, juga masuk perkara ikhtilaf antara NU dan Muhammadiyah. Permasalah
ini akan kita bahas pada bab tersendiri. Yang perlu dibahas lebih dalam disini,
yang juga menjadi kontroversi
Ulama, adalah membaca surat al-Fatiah untuk dihadiahkan kepada mayit.
Dalam pembacaan tahlil, setelah jamaah bersama-sama melantunkan shahadat,
sebelum dilanjutkan dengan bacaan-bacaan dan doa-doa yang lain, biasanya
pemimpin tahlil akan menghadiahi fatihah yang ditujuakan kepada, Nabi Muhammad
saw berserta keluarga, para sahabat, kepada orang-orang sholih, dan kepada
orang yang meninggal. NU berpendapat bahwa membaca surat al-Fatihah yang
dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal hukumnya adalah boleh.
KH A Nuril Huda, mengutip pendapat Ibnu
'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali yang mengatakan:
"Disunnahkan menghadiahkan bacaan Al-Qur'an kepada Nabi SAW.”
Ibnu 'Abidin telah bertaka sebagaimana tersebut dalam Raddul Muhtar
'Alad-Durral Mukhtar:
"Ketika para ulama kita mengatakan boleh bagi seseorang untuk
menghadiahkan pahala amalnya untuk orang lain, maka termasuk di dalamnya hadiah
kepada Rasulullah SAW. Karena beliau lebih berhak mendapatkan dari pada yang
lain. Beliaulah yang telah menyelamatkan kita dari kesesatan. Berarti hadiah
tersebut termasuk salah satu bentuk terima kasih kita kepadanya dan membalas
budi baiknya.
Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk bertambah
ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang yang melarang
bahwa perbuatan ini adalah tahshilul
hashil (percuma) karena semua amal umatnya otomatis masuk dalam tambahan
amal Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberitakan dalam Al-Qur'an bahwa Ia bershalawat terhadap Nabi
SAW kemudian Allah memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Nabi dengan
mengatakan:
اَللّهُمَّ صَلِّي عَلَى مُحَمَّدٍ
“Ya Allah berikanlah rahmat kemuliaan buat Muhammd. Wallahu
A’lam.” (lihat dalam Raddul Muhtar 'Alad-Durral Mukhtar, jilid II,
hlm. 244)
Bolehnya menghadiakan al-Fatikhah juga diperkuat dengan pendapat
Ibnu Hajar al Haytami dalam Al-Fatawa al-Fiqhiyyah. Juga, Al-Muhaddits
Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam al-Matin, yang
mengatakan: "Menurut saya boleh saja seseorang menghadiahkan bacaan
Al-Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi SAW, meskipun beliau selalu
mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang
tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukannya,
hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang.
Jika hadiah bacaan Al-Qur'an termasuk al-Fatihah diperbolehkan untuk Nabi,
maka, menurut Ulama NU, menghadiahkan al-Fatihah untuk para wali dan
orang-orang saleh yang jelas-jelas membutuhkan tambahnya ketinggian derajat dan
kemuliaan juga dihukumi boleh.
Selain hadiah al-Fatihal, hal yang juga menjadi tradisi NU, dan
tidak terdapat di Muhammadiyah adalah tradisi Haul. Masalah haul, barangkali
tepat untuk sekalian kita angkat di sini, sebab dalam acara haul yang
ditradisikan oleh NU dipastikan ada pembacaan tahlil.
Haul adalah peringatan kematian yang dialukan setahun sekali, biasanya diadakan
untuk memperingati kematian para keluarga yang telah meninggal dunia atau para
tokoh. Tradisi haul diadakan berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan:
Rasulullah berziarah ke makam Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dalam
perang Uhud dan makam keluarga Baqi’. Beliau mengucap salam dan mendoakan
mereka atas amal-amal yang telah mereka kerjakan. (HR. Muslim)
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Wakidi disebutkan bahwa:
Rasulullah SAW mengunjungi
makam para pahlawan perang Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib
(tempat makam mereka), Rasulullah agak keras berucap: Assalâmu’alaikum bimâ
shabartum fani’ma uqbâ ad-dâr. (Semoga kalian selalu mendapat kesejahteraan ats
kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling
nikmat). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah).
Para ulama menyatakan, peringatan haul tidak dilarang oleh agama,
bahkan dianjurkan. Ibnu Hajar dalam Fatâwa al-Kubrâ Juz II, sebagaimana dikutip A. Khoirul
Anam dalam artikelnya, menjelaskan, para Sahabat dan Ulama tidak
ada yang melarang peringatan haul sepanjang tidak ada yang meratapi mayyit atau
ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul yang diadakan secara bersama-sama
menjadi penting bagi umat Islam untuk bersilaturrahim satu sama-lain; berdoa
sembari memantapkan diri untuk menyontoh segala teladan dari para pendahulu;
juga menjadi forum penting untuk menyampaikan nasihat-nasihat keagamaan.
Demikianlah pendapat NU mengenai tahlil, yang intinya tahlil tidak bertentangan
dengan syariat. Karena dengan seseorang mengikuti tahlilan, baik
sendiri-sendiri, berjamaah, dalam acara haul atau tidak, maka mereka menjadi
berdzikir dengan mengalunkan kalimah syahadah, juga membaca ayat suci al-Qur’an
serta bacaan dzikir yang lain, yang semua itu tidak lain sebagai cara
istighatsah kepada Allah agar doanya diterima untuk mayit.
DAFTAR
PUSTAKA