Selasa, 10 Oktober 2017

Sejarah kisah Mbah Alim Bulus Dan Kiai Shaleh Darat

Mbah Alim Bulus Dan Kiai Shaleh Darat

Buku Pustaka Bangun

Antara Mbah Kyai Muhammad ( Ahmad ) Alim Basaiban Bulus, Mbah Muhammad Alim Basaiban Loano, Mbah Zain al Alim ( Muhammad Zein ) Basaiban Solotiyang dan Mbah Kyai Sholeh Darat

Dikutip oleh Ravie Ananda dari catatan Sarmidi Husna ( 18 Desember 2007 )
Kebumen Jumat Kliwon 26 Februari 2010

Muhammad Shalih bin Umar (1820 M), yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat, adalah seorang ulama besar pada zamannya. Ketinggian ilmunya tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar di Jawa, tetapi juga bisa dilihat dari pengakuan penguasa Mekkah saat ia bermukim di sana. Ia dinobatkan menjadi salah seorang pengajar di Tanah Suci tersebut.

Selain itu, ia adalah seorang ulama yang sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama. Ia menulis ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa.

Kelahirannya

Nama lengkapnya Muhammad Shalih bin Umara al-Shamarani, atau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Shalih Darat. Ayahnya Kiai Umar merupakan salah seorang pejuang dan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro di Jawa Bagian Utara, Semarang, di samping Kiai Syada’ dan Kiai Mutadha Semarang. Kiai Shaih Darat dilahirkan di desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar 1820 M. Sedangkan informasi lainnya menyatakan bahwa, Kiai Shaih Darat dilahirkan di Bangsri, Jepara. Ia wafat di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M.

Ia disebut Kiai Shaih Darat, karena ia tinggal di kawasan yang bernama Darat, yaitu suatu daerah di pantai utara Semarang, tempat mendarat orang-orang dari luar Jawa. Kini daerah Darat termasuk wilayah Semarang Barat. Adanya penambahan Darat sudah menjadi kebiasaan atau ciri dari oang-orang yang terkenal di masyarakat.

Kiai-Kiai Seperjuangan
Sebagai seorang putra Kiai yang dekat dengan Pangeran Diponegoro, Kiai Shalih Darat mendapat banyak kesempatan untuk berkenalan dengan teman-teman orang tuanya, yang juga merupakan kiai terpandang. Inilah kesempatan utama Kiai Shalih Darat di dalam membuat jaringan dengan ulama senior di masanya, sehingga ketokohannya diakui banyak orang. Di antara kiai senior yang memiliki hubungan dekat dengan Kiai Shalih Darat adalah:

1. Kiai Hasan Bashari ( putra Kyai Nur Iman Mlangi dari garwa Gegulu ;tambahan oleh ravie ananda ), ajudan Pangeran Diponegoro. Salah seorang cucunya ( nya yang dimaksud adalah Kiai Hasan Bashari )KH. M. Moenawir, pendiri pesanten Krapyak Yogyakarta, adalah salah seorang murid Kiai Shalih Darat.

2. Kiai Syada’ dan Kiai Darda’, dua orang prajurit Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro tertawan, Kiai Darda’ yang beasal dari Kudus, kemudian menetap di Mangkang Wetan, Semarang bagian barat, dan memnbuka pesantren di sana. Kepadanya, Kiai Shalih Darat pernah menuntut ilmu. Kiai Bulkin, putera Kiai Syada’, dikawinkan dengan Natijah, puteri Kiai Darda’, dan memperoleh anak yang bernama Kiai Tahir. Kyai Tahir ini, cucu kiai Darda’ adalah murid Kiai Shalih Darat setelah pulang dari Makkah.

3. Kiai Murtadha, teman seperjuangan Kiai Umar ketika melawan Belanda. Shafiyyah, puteri Kiai Muartadha, dijodohkan dengan Kiai Shalih Darat setelah pulang dari Makkah.

4. Kiai Jamasari, prajurit Pangeran Diponegoro di daerah Solo dan pendiri Pondok pesantren Jamsaren, Surakarta. Ketika kiai Jamsari ditangkap Belanda, pesantrennya tidak ada yang melanjutkan, lalu ditutup. Pesanten tersebut dihidupkan kembali oleh Kiai Idris, salah seorang santri senior Kiai Shalih Darat. Dialah yang menggantikan Kiai Shalih Darat selama ia sakit hingga wafatnya.

Menikah
Selama hayatnya, Kiai Shalih Darat pernah menikah tiga kali. Perkawinannya yang pertama adalah ketika ia masih berada di Makkah. Tidak jelas siapa nama istrinya. Dari perkawinanya pertama ini, ia dikarunia seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Tatkala Kiai Shalih Darat pulang ke Jawa, istrinya telah meninggal dunia dan Ibrahim tidak ikut serta ke Jawa. Ibrahim ini tidak mempunyai keturunan. Untuk mengenang anaknya (Ibrahim) yang pertama ini, Kiai Shalih Darat menggunakan nama Abu Ibrahim dalam halaman sampul kitab tafsirnya, Faidh al-Rahman.
Perkawinannya yang kedua dengan Sofiyah, puteri Kiai Murtadha teman karib bapaknya, Kiai Umar, setelah ia kembali di Semarang. Dari pekawinan ini, mereka dikarunia dua orang putera, Yahya dan Khalil. Dari kedua putranya ini, telah melahirkan beberapa anak dan keturunan yang bisa dijumpai hingga kini. Sedangkan perkawinannya yang ketiga dengan Aminah, puteri Bupati Bulus, Purworejo, keturunan Arab. Dari perkawinannya ini, mereka dikaruniai anak. Salah satu keturunannya adalah Siti Zahrah. Siti Zahrah dijodohkan dengan Kiai Dahlan santri Kiai Shalih Darat dari Tremas, Pacitan. Dari perkawinan ini melahirkan dua orang anak, masing masing Rahmad dan Aisyah. Kiai Dahlan meninggal di Makkah, kemudian Siti Zahrah dijodohkan dengan Kiai Amir, juga santri sendiri asal Pekalongan. Perkawinan kedua Siti Zahrah tidak melahirkan keturunan.

Kiai-kiainya di Tanah Jawa
Sebagaimana anak seorang Kiai, masa kecil dan remaja Kiai Shalih Darat dilewatinya dengan belajar al-Qur’an dan ilmu agama. Sebelum meninggalkan tanah airnya, ada beberapa kiai yang dikunjunginya guna menimba ilmu agama. Mereka adalah:

1. KH. M. Syahid.
Untuk pertama kalinya Kiai Shalih Darat menuntut ilmu dari Kiai M. Syahid, seorang ulama yang memiliki pesantren Waturoyo, Margoyoso Kajen, Pati. Pesantren tersebut hingga kini masih berdiri. Kiai M. Syahid adalah cucu Kiai Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II (1727-1749M). kepada Kiai M. Syahid ini, Kiai Shaleh Darat belajar beberapa kitab fiqih. Di antaranya adalah kiab Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawwim, Syarh al-Khatib, Fath al-Wahab dan lain-lain.

2. Kiai Raden Haji Muhammad Shaleh bin Asnawi, Kudus.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Tafsir al-Jalalain karya Imam Suyuti.

3. Kiai Ishak Damaran, Semarang.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Nahwu dan Sharaf.
4. Kiai Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, seorang Mufti di Semarang.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat ilmu falak.

5. Kiai Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Semarang.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar kitab Jauhar al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqqani dan Minhaj al-Abidin karya imam Ghazali.

6. Syekh Abdul Ghani Bima, Semarang.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar kitab Masail al-Sittin karya Abu Abbas Ahmad al-Mishri. Yaitu sebuah kiab yang beisi ajaran-ajaran dasar Islam yang sangat populer di Jawa pada abad ke-19 M.

7. Mbah Ahmad ( Muhammad ) Alim Basayban, Bulus Gebang Purworejo
Kepadanya Kiai Shaleh Darat mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir al-Qur’an. Oleh Mbah Ahmad ( Muhammad ) Alim ini, Kiai Shaleh Darat diperbantukan kepada Zain al-Alim, untuk mengasuh sebuah pesantren di Dukuh Salatiyang, Desa Maron, Kecamatan Loana, Purworejo.

Melihat keragaman kitab-kitab yang diperoleh oleh Kiai Shaleh Darat dari beberapa gurunya, menunjukkan betapa kemampuan dan keahlian Kiai Shaleh Darat di bidang ilmu agama.

Pergi ke Makkah
Setelah belajar di beberapa daerah di Jawa, Kiai Shaleh Darat bersama ayahnya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ayahnya wafat di Makkah, kemudian Kiai Shaleh Darat menetap di Makkah beberapa tahun untuk memperdalam ilmu agama. Pada waktu itu, abad ke-19, banyak santri Indonesia yang berdatangan ke Makkah guna menuntut ilmu agama di sana. Termasuk Kiai Shaleh Darat. Ia pergi ke Makkah dan bermukim di sana guna menuntut ilmu agama dalam waktu yang cukup lama. Sayangnya, tidak diketahui secara pasti tahun berapa ia pergi ke Makkah dan kapan ia kembali ke tanah air.

Kiai-Kiainya di Makkah
Yang jelas, selama di Makkah, Kiai Shaleh Darat telah berguru kepada tidak kurang dari sembilan ulama setempat. Mereka adalah:

1. Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki.
Kepadanya ia belajar ilmu-ilmu aqidah, khusunya kitab Ummul Barahin karya Imam Sanusi (al-Sanusi).

2. Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah.
Ia adalah pengajar di Masjid al-Haram dan al-Nabawi. Kepadanya, Kiai Shaleh Darat belajar fiqih dengan menggunakan kitab Fath al-Wahhab dan Syarh al-Khatib , serta Nahwu dengan menggunakan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Sebagaimana tradisi belajar tempo dulu, setelah menyelesaikan pelajaran-pelajaran tersebut, Kiai Shaleh Darat juga memperoleh “Ijazah”. Adanya istilah ijazah dikarenakan penerimaan ilmu tersebut memiliki sanad. Dalam hal ini, Kiai Shaleh Darat mendapatkan ilmu dari Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah yang memperoleh ilmu tersebut dari gurunya, Syekh Abdul Hamid a-Daghastani, dan al-Dagastani mendapatkan dari Ibrahim Bajuri yang mendapatkan ilmunya dari al-Syarqawi, pengarang kitab Syarh al-Hikam.

3. Al-‘Allamah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti madzab Syafi’iyah di Makkah.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Ihya’ Ulum al-Diin. Dari sini ia juga mendapatkan ijazah.

4. Al-‘Allamah Ahmad An-Nahawi al-Mishri al-Makki.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar al-Hikam karya Ibnu Atha’illah.

5. Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi.
Darinya, Kiai Shaleh Darat belajar kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 1 dan 2.

6. Kiai Zahid.
Darinya Kiai Shaleh Darat juga belajar kitab Fath al-Wahhab.

7. Syekh Umar a-Syami.
Darinya Kiai Shaleh Darat juga belajar kitab Fath al-Wahhab.

8. Syekh Yusuf al-Sanbalawi al-Mishri.
Darinya Kiai Shaleh Darat belajar Syarh al-Tahrir karya Zakaria al-Anshari.

9. Syekh Jamal, seoang Muftti Madzab Hanafiyyah di Makkah.
Darinya Kiai Shaleh Darat belajar Tafsir al-Qur’an.

Dari sinilah, Kiai Shaleh Darat mendapatkan ijazah ketika selesai mempelajari kitab-kitab tertentu, semisal Fath al-Wahhab, Syarh al-Khatib dan Ihya’ Ulum a-Din. Dari sini pulalah apa yang dipelajari Kiai Shaleh Darat dari kitab-kitab tersebut, berpengaruh besar terhadap isi kitab yang dikarangnya, yaitu Majmu’ al-Syariat al-Kafiyah li al-awwam.

Jaringan Keulamaan Kiai Shaleh Darat
Semasa belajar di Makkah, Kiai Shaleh Darat banyak bersentuhan dengan ulama-ulama Indonesia yang belajar di sana. Di antara para ulama yang sezaman dengannya adalah:

1. Kiai Nawawi Banten, disebut juga Syekh Nawawi al-Bantani.

2. Syekh Ahmad Khatib.
Ia seorang ulama asal Minangkabau. Lahir pada 6 Dzulhijjah 1276 (26 Mei 1860 M) dan wafat di Makkah pada 9 Jumadil Awwal (1916 M). Dalam sejarahnya, dua tokoh pendiri NU dan Muhamadiyyah KH. Hasyim As’ari dan KH. Ahmad Dahlan pernah menjadi murid Ahmad Khatib. Tercatat ada sekitar 49 karya yang pernah ditulisnya. Di antaranya kiitab Al-Nafahat dan Al-Jawahir fi A’mal a-Jaibiyyat.

3. Kiai Mahfuzh a-Tirmasi.
Ia adalah kakak dari Kiai Dimyati. Selama di Mekkah, ia juga berguru kepada Ahmad Zaini Dahlan. Ia wafat tahun 1338 H (1918 M).

4. Kiai Khalil Bangkalan, Madura.
Ia adalah salah seorang teman dekat Kiai Shaleh Darat. Namanya cukup terkenal di kalangan para Kiai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. ia belajar di Mekkah sekitar pada tahun 1860 dan wafat pada tahun 1923.

Diajak pulang oleh Kiai Hadi Girikusumo
Ketinggian ilmu Kiai Shaleh Darat tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan para santrinya menjadi para kiai besar tetapi juga bisa dilihat dari pengakuan penguasa Mekkah saat Kiai Shaleh Darat bermukim di Mekkah. Ia dipilih menjadi salah seorang pengajar di Mekkah. Di sinilah Kiai Shaleh Darat bertemu dengan Mbah Hadi Girikusumo pendiri pondok pesantren Ki Ageng Girikusumo, Mranggen, Demak, Jawa Tengah.

Ia merupakan figur yang sangat berperan dalam menghadirkan Kiai Shaleh Darat ke bumi Semarang.
Melihat kehebatan Kiai Shaleh Darat Mbah Hadi Girikusumo merasa terpanggil untuk mengajaknya pulang bersama-sama ke tanah air untuk mengembangkan islam dan mengajar umat islam di Jawa yang masih awam. Namun karena Kiai Shaleh Darat sudah diikat oleh penguasa Mekkah untuk menjadi pengajar di Mekkah, sehingga ajakan pulang itu ditolak.
Namun Mbah Hadi nekat, Kiai Shaleh Darat diculik, di ajak pulang. Agar tidak ketahuaan, saat mau naik kapal untuk pulang ke Jawa, Kiai Shaleh Darat dimasukkan ke dalam peti bersama barang bawaannya. Namun di tengah jalan ketahuan, jika Mbah Hadi menculik salah seorang ulama di Masjid Mekkah. Akhirnya pada saat kapal merapat di pelabuhan Singapura, Mbah Hadi ditangkap. Jika ingin bebas maka harus mengganti dengan sejumlah uang sebagai denda.

Para murid Mbah Hadi yang berada di Singapura mengetahui bila gurunya sedang menghadapi masalah besar, akhirnya membantu menyelesaikan masalah tersebut dengan mengumpulkan dana iuran untuk menebus kesalahan mbah Hadi dan menebus uang ganti kepada penguasa Mekkah atas kepergian Kiai Shaleh Darat. Akhirnya, mbah Hadi dan Kiai Shaleh Darat berhasil melanjutkan perjalanan dan berhasil mendarat ke Jawa.

Mbah Hadi langsung kembali ke Girikusumo, sedangkan Kiai Shaleh Darat menetap di Semarang, mendirikan pesantren dan mencetak kader-kader pelanjut perjuangan Islam. Sayang sekali, sepeninggalan Kiai Shaleh Darat, pesantrennya tidak ada yang melanjutkan, kini di bekas pesantren yang dulu digunakan oleh Kiai Shaleh Darat untuk mengajar mengaji hanya berdiri sebuah masjid yang masih digunakan untuk menjalankan ibadah umat islam di kampung Darat Semarang.

Tentang Teori Kebebasan Manusia
Ia juga terkenal sebagai pemikir dalam bidang ilmu kalam. Menurut Nur Kholis Majid, seorang cendikiawan muslim Indonesia, Kiai Shaleh Darat sangat kuat mendukung paham teologi Asy’ariyyah dan Maturidiyah. Pembelaannya pada paham ini jelas kelihatan dalam bukunya Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauhar al-Tauhid. Di sini ia mengemukakan penafsirannya tentang sabda Nabi SAW bahwa akan terjadi perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang selamat, yaitu mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW, yakni melaksanakan akaid, pokok-pokok kepercayaan ahlus sunnah wajama’ah, Asy’aiyah dan Maturidiyah.

Selanjutnya dalam teori ilmu kalam yang berkaitan dengan perbuatan manusia, ia menjelaskan bahwa paham Jabariyah dan Qadariyah tentang perbuatan manusia adalah sesat. Yang benar adalah paham Ahlus Sunnah yang berada di tengah antara Jabariyah dan Qodariyah. Sebagai ulama yang berfikir maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja keras, setelah itu baru menyerahkan diri secara pasrah kepada Yang Maha Esa. Ia sangat mencela orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala nasibnya telah ditaqdirkan Allah SWT. sebaliknya, ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatannya.

Sang Delegator Pesantren
Dalam sejarah pesantren, Kiai Shaleh Darat layak disebut sebagai “ elegator Pesantren”. Karena ia tidak pernah ikut membesarkan pesantren orang tuanya, sebagaimana mafhumnya anak-anak kiai. Ia justru lebih memilih membantu memajukan pesantren orang lain dan membuat pesantren sendiri, dengan tanpa maksud menobatkan dirinya sebagai pengasuh pesantren.

Karir kekiaian Kiai Shaleh Darat diawali sebagai guru yang diperbantukan di pesantren Salatiyang yang terletak di Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo. Pesantren ini didirikan sekitar abad 18 oleh tiga orang sufi, masing-masing Kiai Ahmad ( Muhammad ) Alim, Kiai Muhammad Alim, dan Kiai Zain al Alim ( Muhammad Zein ). Dalam perkembangan selanjutnya pesanten ini dipercayakan kepada Kiai Zain al Alim. Sementara kiai Ahmad ( Muhammad )Alim mengasuh sebuah pesantren, belakangan bernama al-Iman, di desa Bulus, Kecamatan Gebang. Adapun Kiai Muhamad Alim mengembangkan pesantrennya juga di Desa Maron, yang kini dikenal dengan pesantren al-Anwar. Jadi kedudukan Kiai Shaleh Darat adalah sebagai pengajar yang membantu Kiai Zain al Alim ( Muhammad Zein ).

Pesantren Salatiyang sendiri lebih menfokuskan pada bidang penghafalan al-Qur’an, di samping mengajar kitab kuning. Di sinilah besar kemungkinannya, Kiai Shaleh Darat diperbantukan untuk mengajar kitab kuning, seperti fiqh, tafsir dan nahwu Sharaf, kepada para santri yang sedang menghafal al-Qur’an.

Di antara santri jebolan Salatiyang adalah Kiai Baihaqi (Magelang). Kiai Ma’aif, Wonosobo, Kiai Muttaqin, Lampung Tengah, Kiai Hidayat (Ciamis) Kiai Haji Fathulah (Indramayu), dan lain sebagainya.

Tidak jelas, berapa lama Kiai Shaleh Darat mengajar di pesantren Salatiyang. Sejarah hanya mencatat, bahwa pada sekitar 1870-an Kiai Shaleh Darat mendirikan sebuah pesantren baru di Darat, Semarang. Hitungan angka ini didasarkan pada kitabnya , alHikam, Yang ditulis rampung dengan menggunakan Bahasa Arab Pegon pada tahun 1289 H/1871 M. pesantren Darat merupakan pesanten tertua kedua di Semarang setelah pesantren Dondong, Mangkang Wetan, Semarang yang didirikan oleh Kiai Syada’ dan Kiai Darda’, dua mantan prajurit Diponegoro. Di pesantren ini pula Kiai Shaleh Darat pernah menimba ilmu sebelum pergi ke Mekkah.

Selama mengasuh pesanten, Kiai Shaleh Darat dikenal kurang begitu memperhatikan kelembagaan pesantren. Karena factor inilah, pesantren Darat hilang tanpa bekas sepeninggalan Kiai Shaleh Darat, pada 1903 M. konon bersamaan meninggalnya Kiai Shaleh Darat, salah seorang santri seniornya, Kiai Idris dari Solo, telah memboyong sejumlah santri dari Pesantren Darat ini ke Solo. Kiai Idris inilah yang kemudian menghidupkan kembali pondok pesantren Jamsaren, yang pernah didirikan oleh Kiai Jamsari.

Ada versi lain yang menyebutkan bahwa pesantren yang didirikan oleh Kiai Shaleh Darat bukanlah pesantren dalam arti sebenarnya, di mana ada bangunan fisik yang mendukung. Pesantren Darat hanyalah majelis pengajian dengan kajian bermutu yang diikuti oleh parasantri kalong. Ini mungkin terjadi, mengingat kedekatan pesantren Darat dengan pesantren Mangkang, dimana Kiai Shaleh Darat pernah belajar di sana, bisa mempengaruhi tingkat ketawadlu’an kiai senior.

Santri-santrinya

Di antara tokoh yang pernah belajar kepada Kiai Shaleh Darat adalah: KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah), Kiai R. Dahlan Tremas, seorang Ahli Falak (w. 1329 H), Kiai Amir Pekalongan (w. 1357 H) yang juga menantu Kiai Shaleh Darat, Kiai Idris (nama aslinya Slamet) Solo, Kiai Sya’ban bin Hasan Semarang, yang menulis artikel “Qabul al-‘Ataya ‘an Jawabi ma Shadara li Syaikh Abi Yahya, untuk mengoreksi salah satu dari salah satu bagian dari kitab Majmu’at al-Syari’ah karya Kiai Shaleh Darat; Kiai Abdul Hamid Kendal; Kiai tahir, penerus pondok pesantren Mangkang Wetan, Semarang; Kiai Sahli kauman Semarang; Kiai Dimyati Tremas; Kiai Khalil Rembang; Kiai Munawir Krapyak Yogyakarta; KH. Dahlan Watucongol Muntilan Magelang, Kiai Yasin Rembang; Kiai Ridwan Ibnu Mujahid Semarang; Kiai Abdus Shamad Surakarta; Kiai Yasir Areng Rembang, serta RA Kartini Jepara.

Persinggungannya dengan A Kartini

Adalah sosok yang tidak terikat dengan alian-aliran dalam Islam. Ia justru sangat menghargai aliran yang berkembang saat itu. Ia lebih menekankan pada nilai-nilai pokok (dasar) Islam, dan bukan furu’iyyah (cabang). Lebih dari itu, Kiai Shaleh Darat dikenal sebagai sosok penulis tafsir al-Quran dengan menggunakan bahasa Jawa. Ia sering memberikan pengajian, khusunya tafsir al-Quran di beberapa pendopo Kabupaten di sepanjang pesisir Jawa. Sampai suatu ketika RA Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak. Saat itu sedang berlangsung pengajian bulanan, khususnya untuk anggota keluarga. RA Kartini ikut mendengarkan pengajian bersama para Raden Ayu yang lain di balik hijab (tabir/tirai). RA Kartini merasa tertarik tentang materi yang disampaikan pada saat itu, tafsir al-Fatihah, oleh Kiai Shaleh Darat. Setelah selesai pengajian, RA. Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kiai Shaleh Darat. Ia mengemukakan: “saya merasa perlu menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada rormo kiai dan rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas keberanian romo kiai menerjemahkan surah al-Fatihah ke dalam bahasa Jawa sehingga mudah difahami dan dihayati oleh masyarakat awam, seperti saya. Kiai lain tidak berani berbuat seperti itu, sebab kata mereka al-Quran tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain.” Lebih lanjut Kartini menjelaskan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tidak mengerti sedikit pun akan maknanya, tetapi sejak hari ini menjadi terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekalipun, karena romo kiai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang saya fahami.”

Kiai Shaleh Darat selalu menekankan kepada muridnya agar giat menimba ilmu. Karena intisari ajaran al-Quran, menurutnya,, adalah dorongan kepada umat manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan di akhirat nanti.
Karya Tulisnya

Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak ulama Indonesia yang menghasilkan karya tulis besar. Tidak sedikt dari karya-karya mereka yang ditulis dengan bahasa Arab. Setelah Kiai Ahmad Rifa’I dari Kalisalak (1786-1875 M) yang banyak menulis kitab yang berbahasa Jawa, tampaknya Kiai Shaleh Darat adalah satu-satunya kiai akhir abad ke-19 yang karya tulis keagamaanya berbahasa Jawa.
Adapun karya-karya Kiai Shaleh Darat yang sebagiannya merupakan terjemahan, berjumlah tidak kuang dari 12 buah, yaitu:

1. Majmu’at Syari’at al-Kafiyat li al-Awam.

Kitab ini khusus membahas persoalan fiqih yang ditulis dengan bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon.

2. Munjiyat Metik Sangking Ihya’ Ulum al-Din al-Ghazali.
Sebuah kitab yang merupakan petikan dari kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 3 dan 4.

3. al-Hikam karya Ahmad bin Athailah.
Merupakan terjemahan dalam bahasa Jawa.

4. Lathaif al-Thaharah.
Berisi tentang hakikat dan rahasia shalat, puasa dan keutamaan bulan muharram, Rajab dan Sya’ban. Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa.

5. Manasik al-Haj.
Berisi tuntunan atau tatacara ibadah haji.

6. Pasolatan.
Berisi hal-hal yang berhubungan dengan shalat (tuntunan shalat) ima waktu, kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa dengan Huruf Arab pegon.

7. Sabillu ‘Abid terjemahan Jauhar al-Tauhid, karya Ibrahim Laqqani.
Merupakan terjemahan berbahasa Jawa.

8. Minhaj al-Atkiya’.
Berisi tuntunan bagi orang orang yang bertaqwa atau cara-cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.

9. Al-Mursyid al-Wajiz.
Berisi tentang ilmu-ilmu al-Quran dan ilmu Tajwid.

10. Hadits al-Mi’raj

11. Syarh Maulid al-Burdah

12. Faidh al-Rahman.
ditulis pada 5 Rajab 1309 H/1891M. kitab ini diterbitkan di Singapura.
13. Asnar al-Shalah

Kini, Kiai Shaleh Darat memiliki sekitar 70 trah (keturunan) yang tersebar di berbagai daerah. Biasanya, dalam waktu-waktu tertentu mereka berkumpul dan bersilaturahmi di Masjid Kiai Shaleh Darat di Jln. Kakap/Darat Tirto, Kelurahan Dadapsari yang terletak di Semarang Utara.
Dari pertemuan silaturahmi ini, telah 13 kitab karya Kiai Shaleh Darat berhasil dikumpulkan. Sebagian kitab tersebut dicetak di Bombay (India) dan Singapura. Hingga kini, keturunan Kiai Shaleh Darat terus melakukan pencarian dan penelusuran kitab-kitab tersebut ke masing-masing keluarga keturunan Kiai Shaleh Darat di Jepara, Kendal, bahkan sampai ke negara-negara Timur Tengah.
Diposkan oleh Sarmidi Husna di Selasa, Desember 18, 2007

Keterangan tambahan mengenai Mbah Ahmad ( Muhammad ) Alim Basaiban Bulus, Mbah Muhammad Alim dan Mbah Zain al Alim ( Muhammad Zein ) : oleh Ravie Ananda

Mbah Ahmad Alim
Mbah Ahmad Alim yang disebut dalam artikel di atas terkenal juga dengan sebutan mbah Muhammad Alim Basaiban Bulus Purworejo. Beliau sebagai Pendiri Desa Bulus. Untuk riwayat lebih lengkapnya silahkan membaca “ Sejarah Desa Bulus kecamatan Gebang Purworejo “ Atau “ Pustaka Bangun “ dalam blogger saya.

Mbah Muhammad Alim
Mbah Muhammad Alim yang disebutkan dalam artikel diatas adalah putra dari Mbah Ahmad ( Muhammad ) Alim Basaiban Bulus Purworejo, hasil pernikahan dengan Istri yang berasal dari Kedung Dowo. Mbah Muhammad Alim putra Mbah Ahmad Alim tersebut kemudian bersama – sama dengan ayahnya mengembangkan syiar islam di Purworejo. Mbah Muhammad Alim mendirikan pondok di Loano purworejo.

Mbah Zain al Alim
Mbah Zain Al Alim lebih dikenal dengan sebutan mbah Muhammad Zein Solotiyang Purworejo. Beliau juga putra dari Mbah Ahmad Alim Basaiban dari Istri yang sama. Mbah Zain Al Alim adalah adik dari Mbah muhammad Alim. Mereka berdua adalah saudara kandung seayah dan seibu.

Untuk mengetahui lebih lengkap sejarah Mbah Alim Basaiban / Mbah Ahmad Alim Bulus dan para putra wayahnya, silahkan membaca srtikel dalam blogger saya yang berjudul “ Sejarah Desa Bulus kecamatan Gebang kabupaten Purworejo “atau “Pustaka Bangun “atau “Mbah Ahmad ( Muhammad ) Alim basaiban Bulus Pahlawan Tanpa Tanda jasa yang nyaris terlupakan”.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua untuk menambah wawasan tentang para tokoh pendahulu bangsa dan agama di tanah ini yang sudah seharusnya kita hormati dan hargai paling tidak dengan mengenangnya , bukan malah melupakan sejarahnya. Maalamyasykurinnas..lamyasykurillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Improve Your Critical Thinking

       A questioning way that makes us carefully examine a situation, exposes hidden problems, such as bias and manipulation and makes th...